Kamis, 04 November 2010

KA Parahyangan, Sang Legendaris Pun Harus Berhenti

KA.Parahyangan di tikungan Tiber
27 April 2010, PT Keretapi Indonesia  memutuskan untuk menghentikan operasional kereta api legendaris di Indonesia, khususnya bagi pelaku komuter Jakarta-Bandung,  yaitu KA Parahyangan.
Banyak kisah, cerita bersama dengan nyaris 40 tahun beroperasinya kereta yang sempat jadi kereta  “menak” di tahun 1980-an tsb.  Saya mencari berbagai macam situs berita on line dan situs tentang perkerataapian di Indonesia khususnya tentang KA Parahyangan ini. Banyak kisah mulai yang mengembirakan, yang lucu sampai mengharukan


Beberapa orang ada yang merasa aneh dengan “gegernya” berita tentang penghentian operasinya KA Parahyangan ini. Benar, memang, bagi orang-orang yang tidak pernah merasakan pengalaman naik KA Parahyangan, tentu akan sukar memahami perilaku para pecinta KA ini.  Perilaku yang dari normal-normal saja sampai yang ajaib. Maka, saya merasa perlu membuat artikel ini dengan sedikit menyisipkan kenangan saya sebagai salah satu pengguna moda transportasi ini. Sekalian untuk mengenang jasa-jasa KA Parahyangan dalam beberapa episode kehidupan saya.


 Sebelum saya kisahkan sedikit pengalaman saya, ada baiknya perlu dimulai sedikit dari kisah si KA legendaris ini.  Sebelum bernama KA Parahyangan, oleh pemerintah kolonial Belanda pada sebelum kemerderkaan RI, jalur kereta api yang menyusuri Tatar Priangan Barat dari Bandung menuju Jakarta untuk mengangkut hasil bumi, dioperasikan kereta pengangkut yang bernama KA Vlugge Vier.


Kontur tanah yang berbukit dan berlembah membuat moda kereta api menjadi angkutan yang efisien pada saat itu., untuk membawa kina dan teh dari Preanger Planters yang memang banyak dibuka di wilayah Priangan bagian barat.
Kemudian dengan menggunakan jalur kereta api eks jalurnya Vlugge Vier, Pemerintah RI lewat PNKA saat itu, memulai dioperasikannya kereta api khusus bernama KA Parahijangan, yang akhirnya disesuaikan ejaannya menjadi KA Parahyangan. Dioperasikan pertama kali pada 31 Juli 1971. Menurut berbagai situs tentang perkeretaapian di Indonesia, KA Parahijangan adalah kereta api pertama kali di Indonesia yang gunakan Lokomotif diesel CC 200 buatan General Electric . co, USA.

Saya masih ingat masa ketika saya masih bisa menaiki KA Parahyangan yang gerbongnya di bagian luar masih bercat merah, loko tsb bercat kuning dan hijau dengan gambar seperti burung elang dengan sayap yang panjang membentang dari tengah ke samping, di bagian depan lokonya.
KA.Parahyangan (1990-2000)
Sejak dioperasikan, KA Parahyangan ini sempat menjadi salah satu alat untuk menunjukkan status sosial penggunanya. Pada 1980-an. KA Parahyangan ini mampu menempuh jarak 173 KM dari Bandung ke Jakarta hanya dengan waktu tempuh 2 jam saja. Maka, pada saat itu, naik KA Parahyangan bisa dikatakan menaikan gengsi, privilese.
Selain masalah kecepatan waktu, jalur kereta api yang melewati Priangan Barat menawarkan pemandangan indah a la mooi indie. Melalui tiga jembatan, salah satunya Jembatan Cikubang, penumpang bisa melihat ke a rah lembah, ada kota Purwakarta dan Cikampek. Melewati satu terowongan yang bernama Terowongan Sasaksaat, sepanjang 950 meter, sekira 1 menit kereta berjalan melaluinya. Pemandangan indah sesaat lenyap, hanya ada kegelapan dan suara gemuruh roda kereta bergemuruh beradu dengan rel.

Tidak lupa dan tidak ketinggalan, salah satu ciri khas KA Parahyangan adalah Nasi Gorengnya. Para penumpang umumnya menyantap Nasi Goreng ini ditemani minum Teh Manis panas. Sebetulnya rasa Nasi Goreng dari dapur restorka KA parahyangan ini, biasa saja. Standar. Tetapi manakala menikmati Nasi Goreng di dalam gerbong kereta dengan disuguhi pemandangan alam indah, mungkin inilah sensasi rasa enaknya Nasi Goreng Parahyangan itu berasal.
Saya sendiri pernah beberapa kali mencicipi Nasi Goreng ini ketika saya memang tidak membawa bekal atau lapar karena belum sempat menyantap makan ketika naik kereta ini. Karena rasanya yang standar saja di lidah saya, maka saya hentikan membeli Nasi Goreng ini dan hanya sesekali membeli Teh Tawar panas atau Kopi Susu panas.


CC 20177 with.KA Parahyangan

Saya tidak ingat persis kapan tepatnya gerbong KA Parahyangan berganti cat menjadi krem kemudian seperti sekarang ini yang bercat putih. Yang saya ingat adalah ketika gerbongnya masih bercat merah, interior di bagian dalamnya dilengkap dengan kipas angin biasa, dan toiletnya juga lebih sering tidak bersih.  Jendelanya yang bagian atas, bisa dibuka dengan putaran. Sehingga penumpang bisa merasakan angin pegunungan Priangan Barat yang sejuk sampai membikin ngantuk.  Karenanya perjalanan pulang Jakarta-Gambir ke Bandung akan tetap menyenangkan meski tidak ada AC. Kesejukan Priangan Barat menjadi pengganti AC.
Sedikit perbaikan ketika gerbong diremajakan. Toilet kondisinya lebih baik. Tetapi rasanya masih kurang bersih, jadi saya harus selalu bawa kertas tissue sendiri untuk digunakan saat gunakan toilet duduk di dalam gerbong.  Di gerbong kelas bisnis, pendingin ruangannya tetap menggunakan kipas angin di langit-langit gerbong selain PT KA menambahkan beberapa gerbong kelas eksekutif yang ber-AC, dengan jendela besar yang tentu saja tidak bisa dibuka, dan semua gerbongnya kelas eksekutif, sudah diberi peredam kejut untuk meredam guncangan saat roda-roda gerbong menggilas sambungan rel.

Add caption


Tempat duduknya juga dimodifikasi dengan mode reclining seat, berpelapis beludru bercorak. Kain beludru pelapisnya produksi perusahaan tekstil dalam negeri. Masih dalam ingatan saya juga ketika pertama kalinya KA Parahyangan memiliki gerbong eksekutif, setiap penumpang kelas eksekutif diberikan satu kotak kardus kecil berisi sepotong roti, saepotong kue dan segelas air minum mineral. Pelayanan ini menghilang termasuk menghilang juga di seluruh gerbong kereta eksekutif lainnya, seiring dengan kebijakan PT KA menurunkan tarif kereta untuk menjaring banyak penumpang
Dari KA Parahyangan inilah sejak kecil saya mengenal bunyi-bunyi khas yang mengiringi keberangkatan suaru rangkain kereta. Dimulai dari  bunyi ting tong teng tong…tong tang ting tong, khas stasiun yang menyudahi pengumuman keberangkatan kereta, peluit panjang yang ditiup PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api), disambut dengan bunyi klakson kereta oleh Pak Masinis dan tentu saja tidak lupa, suara roda kereta beradu dengan rel berbunyi : jrekk, jrekk, drunggg, drunggg…., berulang-ulang dan baru akan ada suara bergemuruh, ketika kereta melewati jembatan.

CC 20166 with KA.Parahyangan (PJKA)



BB 30151 with. KA.Parahyangan
Namun mungkin saya tidaklah terlalu merasa kehilangan berat seperti halnya para pecinta kereta ini, yang rata-rata memang komuter. Kita bisa membaca dari berbagai situs berita di Tanah Air, mengenai rasa sentimental para pecinta KA Parahyangan ini, di perjalanan terakhirnya Senin, 26 April 2010 lalu.
Ada yang ketemu jodoh di situ, ada cerita seorang pramugara sempat naksir seorang penumpangnya. Awak kabin kereta yang kenal dengan beberapa penumpang setia sampai ibarat seperti punya keluarga. Ada cerita perjuangan cinta seorang pemimpin perusahaan yang menyerahkan satu seserahannya berupa sekotak tisu KA Parahyangan.  Kabarnya semasa sejak perkenalan sehingga mesti bolak-balik Jakarta-Bandung dengan kereta tsb, tisunya selalu dikumpulkan sebagai bukti cintanya kepada sang gadis pujaan sampai berhasil jadi istrinya.
Ada kisah perjuangan ketika beberapa mahasiswa selesai kuliah berjuang ke Jakarta mencari kerja menumpang kereta ini, atau perjuangan komuter bagi yang bekerja di Jakarta tetapi keluarga tinggal di Bandung. Ada juga yang mengharukan, dari seorang penumpang setia yang mengumpulkan seluruh tiket KA Parahyangan sejak masih berupa lembaran karton yang kecil kira-kira jempol orang dewasa sampai tiket terakhir berupa lembaran kertas dicetak dengan printer dot matrix dan ditandatangani masinisnya pada perjalanan terakhir 26 April 2010 lalu.
Lalu, apanya, sih, yang membuat KA Parahyangan ini serasa istimewa? Karena harga tiketnya yang terjangkau bagi kantong masyarakat banyak. Dengan harga terakhir yang hanya Rp 30 ribu, seseorang sudah bisa pergi dari sekali jalan dari Bandung ke Jakarta atau sebaliknya.




Kemudian, jalur kereta api selalu bebas dari macet meski tidak menjamin KA akan tiba dan berangkat tepat waktu. Meski waktu tempuhnya menjadi 3,5 jam, lebih lama daripada waktu tempuh travel via tol yang hanya 2 jam, tetapi buat sebagian masyarakat, KA Parahyangan itu ibarat penolong. Sayang sekali “sang penolong” ini akhirnya harus menyerah melawan situasi zaman.  Banyak penumpang setianya yang beralih ke travel sejak Tol Cipularang dibuka pada 2005. Pelayanan travel yang memungkinkan point to point tertentu bahkan door to door, menyebabkan KA Parahyangan mulai kehilangan penumpangnya kecuali saat akhir pekan dan saat –saat libur hari raya. PT KAI merugi sampai Rp 36 miliar dengan situasi KA Parahyangan yang sekarat seperti itu.
Sepertinya pemerintah juga tidak ada kehendak untuk menyelamatkan operasional kereta ini, yang tentu saja jauh lebih ramah lingkungan daripada pakai travel dengan armada mobilnya yang banyak. Maka keputusan tragispun harus segera dieksekusi : KA Parahyangan harus dihentikan!
Saya dapat memaklumi keputusan sulit yang diambil PT KAI. Bagaimanapun mengoperasikan moda transportasi yang merugi bisa membebani kelangsungan hidup PT KAI, dan ini dapat mempengaruhi pemeliharaan KA-KA lainnya.
Tetapi dengan dihapuskannya KA Parahyangan ini, juga menjadi bukti bahwa pemerintah negeri ini mengabaikan penyediaan moda transportasi murah yang merakyat.  Sisi lainnya lagi, pengusaha travel diuntungkan dengna berakhirnya operasional KA Parahyangan. Ironis, memang, tetapi mau apa lagi? Kiranya dengan dihapuskannya KA Parahyangan yang legendaris ini, tidak menular ke KA-KA lainnya. Andai saja KA legendaries ini tetap bisa dioperasikan hanya dengan mengurangi frekuensinya atau dialihkan menjadi kereta khusus wisata.
BB 30406 with.KA.Parahyangan di zaman PJKA
Berita terakhir, sebagian gerbong eks KA Parahyangan dibuat rangkaian kereta baru rute baru, KA Malabar namanya, rute Bandung-Malang pp. Dan gerbong kelas bisnisnya dirangkaikan dengan KA Argo Gede rute Bandung-Jakarta pp, sehingga nama keretanya sekarang jadi Argo Parahyangan. Ya, setidaknya Parahyangan tidaklah benar-benar mati. Tapi tentu saja tarif Parahyangan yang ini tidak akan sama lagi dengan tarif KA Parahyangan yang telah dihentikan.
Jika seorang penggemarnya mengatakan “ Selamat tinggal keretaku Parahyangan.”,  maka saya pribadi lebih suka mengatakan, “ Sampai jumpa lagi di lain operasional. “
KA Parahyangan, karyamu akan terus dikenang sebagai sejarah indah yang pernah digoreskan dalam perjalanan perkeretaapian di negeri ini. Sedih rasanya engkau yang harus dikorbankan mengingat jasamu yang teramat besar. Kami yang tumbuh bersamamu, merasa amat kehilangan.

Tidak ada komentar: